TERASBERITA – MAKASSAR,Budayawan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Firman Saleh menyarankan tradisi yang dilakukan dalam acara pernikahan adalah pakkio bunting bukan angngaru. Dia menilai tradisi angngaru perlu dikembalikan pada hakikatnya buntut dua pria tertusuk badik saat angngaru.
“Kalau dalam pernikahan itu, tradisi masyarakat Makassar itu ada pakkio bunting,” kata Firman Saleh kepada detikSulsel, Rabu (7/11/2024).
Dia mengatakan pakkio bunting merupakan salah satu tradisi suku Makassar dalam acara pernikahan. Tradisi tersebut berupa kedatangan mempelai pria di rumah mempelai wanita dengan diiringi syair pakkio bunting.
Dia menuturkan pakkio bunting adalah sastra lisan suku Makassar yang berupa syair. Menurut Firman, pakkio bunting memiliki syair yang sangat indah dan memiliki arti yang mendalam mengandung nilai-nilai dalam berumah tangga.
“Pakkio bunting adalah syair-syair yang dilantunkan pada saat calon mempelai sudah datang. Itu memiliki syair-syair, bahasanya sangat indah, sangat estetik, memiliki arti yang sangat dalam, mengiringi kedatangannya mempelai pada saat sebelum ijab qabul dilakukan,” jelasnya.
Dia menegaskan bahwa tradisi pakkio bunting yang seharusnya dilakukan ketika acara pernikahan. Sementara, tradisi angngaru perlu dikembalikan kepada hakikatnya yaitu ditampilkan pada acara kerajaan.
“Seharusnya (pakkio bunting) itu yang dilakukan, bukan angngaru,” katanya.
“Kita kembali ke hakikatnya angngaru, dari kata aru, aru itu ikrar janji sumpah setia. Jadi angngaru adalah proses mengucapkan atau mengikrarkan janji sumpah setianya prajurit atau para Panglima Kerajaan, dan memang itu dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keyakinan penuh bahwa memang dirinya diberikan, dia punya keyakinan bahwa dia memiliki kelebihan dengan tidak termakan benda tajam,” lanjutnya.
Firman menambahkan penampil angngaru dalam acara pernikahan seharusnya menggunakan replika badik. Menurutnya, badik asli memiliki ketajaman racun yang tinggi sehingga dapat berakibat fatal jika dilakukan oleh orang yang tidak memiliki ilmu kekebalan.
“Kalau acara pernikahan, tidak sewajarnya menggunakan badik yang sesungguhnya. Mungkin ada yang tidak punya kekebalan, langsung dia menusukkan badik itu ke tubuhnya, itu fatal akibatnya,” katanya.
“Harusnya dia menggunakan yang replika saja, kan hanya pertunjukan saja, hanya untuk menunjukkan inilah tradisi,” sambungnya.
Diketahui, insiden persembahan adat angngaru terjadi di Kampung Malise, Kelurahan Pundata Baji Kecamatan Labakkang, Pangkep pada Selasa (29/10) sekitar pukul 11.00 Wita. Saat itu, pemuda berinisial F (18) tewas usai tertusuk badik di dada sebela kiri.
Insiden kedua menimpa remaja berinisial R (19) saat melakukan angngaru di Dusun Palompong, Desa Pabentengan, Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa, Senin (4/11) sekitar pukul 10.30 Wita. Beruntung korban hanya mengalami luka ringan.
sumber -(Tribun.Timur.com)